
Penulis: Dr. Iswadi, M.Pd.
Dosen Universitas Esa Unggul Jakarta
Opini : Aceh dikenal luas sebagai Serambi Mekkah, sebuah julukan yang bukan hanya simbol religiusitas, tetapi juga cerminan kedekatan historis dan budaya dengan nilai nilai Islam. Salah satu situs yang memperkuat julukan itu adalah Gua Tujuh Laweueng, sebuah Gua purba di Desa Cot Laweung,Kecamatan Muara tiga Kabupaten Pidie. Lebih dari sekadar fenomena geologi, gua ini menyimpan kisah mistis yang telah diwariskan dari generasi ke generasi: konon salah satu lorongnya tembus ke Mekkah.
Cerita ini telah lama menyedot perhatian masyarakat lokal, wisatawan, bahkan para peneliti. Tetapi, di balik legenda yang mengundang rasa penasaran, ada dilema antara menjaga kearifan lokal dan membedakan antara mitos dengan fakta ilmiah. Maka, Gua Tujuh Laweueng layak dilihat bukan hanya sebagai tempat wisata, tetapi sebagai simbol dari pertemuan antara kepercayaan, sejarah, dan peluang ekonomi.
Cerita tentang “lorong ke Mekkah” bukan satu-satunya kisah yang hidup di Gua Tujuh. Banyak warga mempercayai bahwa gua ini adalah tempat pertapaan tujuh aulia atau orang-orang saleh di masa lalu. Mereka diyakini mencapai maqam spiritual tinggi hingga mampu menembus jarak secara gaib. Tak sedikit juga yang meyakini bahwa ada batu berbentuk pengantin yang sebenarnya adalah manusia yang dikutuk karena durhaka. Cerita-cerita ini bukan sekadar dongeng. Mereka mencerminkan cara masyarakat lokal memahami dunia dan spiritualitas.
Kita mungkin tergoda untuk menertawakan atau menolak kepercayaan ini karena tidak sesuai dengan logika modern. Namun, kita juga harus sadar bahwa kisah-kisah semacam ini adalah bagian dari warisan budaya non-benda (intangible heritage) yang penting. Ia membentuk identitas masyarakat lokal, mempererat hubungan sosial, bahkan membangun narasi kebanggaan terhadap daerahnya.
Dari sisi ilmiah, Gua Tujuh Laweueng merupakan gua karst yang terbentuk oleh pelarutan batu kapur selama ribuan hingga jutaan tahun. Gua ini memiliki lorong-lorong alami, stalaktit, dan stalagmit yang indah. Salah satu batu paling mencolok adalah bate meugantung , batu besar yang tampaknya menggantung tanpa penyangga. Fenomena ini dapat dijelaskan secara ilmiah, namun tetap memunculkan rasa takjub bahkan bagi ilmuwan geologi sekalipun.
Dalam beberapa tahun terakhir, para akademisi dari Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) dan lembaga geologi nasional mulai melirik potensi gua ini sebagai bagian dari pengembangan geowisata Aceh. Jika dikelola dengan baik, Gua Tujuh bisa menjadi laboratorium alam untuk pendidikan geologi, sekaligus destinasi wisata alam yang berkelanjutan.
Namun, sampai saat ini belum ada bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa gua ini memiliki lorong fisik yang dapat menjangkau hingga ke Mekkah. Jarak antara Aceh dan Mekkah secara geografis adalah lebih dari 7.000 kilometer dan melintasi beberapa benua. Maka bisa dikatakan bahwa klaim “tembus ke Mekkah” lebih tepat dimaknai sebagai simbol spiritual, bukan fakta fisik.
Meski kisah-kisah di Gua Tujuh terdengar mistis, namun ini bisa menjadi aset besar dalam pengembangan wisata religi di Aceh. Wisata religi bukanlah konsep asing dari Goa Hira di Arab Saudi hingga Gua Maria di berbagai belahan dunia, gua-gua spiritual selalu menarik perhatian. Gua Tujuh Laweueng memiliki daya tarik serupa, yang jika dikemas dengan baik, bisa menarik minat wisatawan dari berbagai latar belakang.
Sayangnya, pengelolaan gua ini masih sangat sederhana. Akses menuju lokasi cukup sulit, minim penerangan, dan kurangnya infrastruktur dasar seperti papan petunjuk, fasilitas keamanan, serta pelatihan bagi pemandu lokal. Pemerintah daerah dan pelaku wisata harus duduk bersama untuk merumuskan kebijakan yang berkelanjutan: bagaimana menjaga nilai spiritual dan budaya gua, sekaligus mengelolanya sebagai destinasi ekonomi rakyat.
Pertanyaan besar yang mungkin terbersit di benak banyak orang adalah: apakah kisah lorong ke Mekkah itu benar? Jawabannya bergantung pada dari mana kita melihatnya. Dari perspektif iman, ini bisa menjadi simbol perjalanan spiritual bahwa seseorang yang bersih hatinya bisa “menembus” jarak duniawi menuju kedekatan ilahi. Dari sisi ilmiah, tentu klaim ini harus disangkal karena bertentangan dengan hukum fisika dan geografi.
Namun, keduanya tidak harus saling meniadakan. Justru di sinilah keunikan Gua Tujuh: menjadi titik temu antara rasa takjub manusia terhadap alam dan keyakinan terhadap sesuatu yang lebih besar dari dirinya. Selama kita bisa menempatkan kepercayaan dan sains dalam konteksnya masing-masing, keduanya bisa berdampingan dan saling menguatkan.
Gua Tujuh Laweueng bukan sekadar gua. Ia adalah narasi panjang masyarakat Aceh tentang spiritualitas, sejarah, dan hubungan manusia dengan alam. Di dalam gelapnya lorong-lorong gua itu, tersimpan cahaya cerita yang mampu menghidupkan kembali semangat masyarakat lokal jika dikelola dengan bijak.
Mitos tentang lorong ke Mekkah mungkin tidak bisa dibuktikan oleh ilmu pengetahuan. Namun, semangat untuk menggali nilai budaya, sejarah, dan potensi wisata dari Gua Tujuh jauh lebih nyata dan penting. Di tengah dunia modern yang serba cepat, tempat-tempat seperti ini mengingatkan kita bahwa keajaiban tidak selalu harus dibuktikan kadang cukup untuk dirasakan.